Selasa, 28 Januari 2014

Sebaris Doa untuk Tuhan



Sebaris Doa untuk Tuhan
Sihabudin Ahmadaiky




“T”uhanku Yang Maha Penyayang
“U”ntaian kata kuucapkan hari ini
“H”ari di mana tahun lamaku telah berakhir
“A”tau tahun baruku akan di mulai
“N”amaMu kan kusebut dalam lirik doaku

“I”nsan yang meminta harapmu
“N”an penuh kasih dan penuh harap
“I”nilah aku dengan beragam doa-doaku

“D”amaikanlah hidup kami
“O”batilah luka hati kami
“A”mpunilah semua dosa-dosa kami
“K”asihi kami dan sayangilah kami
“U”ntuk inilah kami berharap kepadaMu




Tuhan, dalam pergantian tahun ini aku persembahkan mimpi-mimpi anak-anak muda, kumohon padaMu, peluklah mimpi-mimpi itu, jagalah mimpinya, jangan ada yang tergores atau pun retak hanya karena hal-hal sepele.

Tuhan, di malam yang indah ini aku menyembahMu, memohon ampun atas segala dosa-dosaku, orangtuaku, saudara-saudaraku, dan mereka-mereka yang Kau cintai dan mencintaiMu.

Tuhan, sejahterakanlah kehidupanku, lancarkanlah segala urusanku dalam hidup dan menghidupi mimpi-mimpi ini. Menjaga hati yang kau beri, menjaga perasaan tanpa hadirnya sakit hati. Materi, sosialisasi, dan semua ambisi-ambisi ini adalah kenyataanku untuk menjadikan bumi sebagai rumah huniku.

Tuhan, maafkanlah aku yang kadang tak tahu malu, yang selalu meminta-minta padaMu, karena hanya kepadaMu-lah aku meminta dan hanya Engkau-lah yang Maha Memberi.

Sihabudin Ahmadaiky



Sabtu, 02 November 2013

Sepuluh Tahun Lalu



Sepuluh Tahun Lalu
Sihabudin Ahmadaiky

“M”asihkah kau ingat …
“A”ku yang dulu tersenyum bersamamu
“S”etiap kali mentari menyapa
“A”ku hadir menemani hari-harimu

“K”enangan terungkap dalam museumku
“E”jek tawa kita bersama
“C”erita gembira kita bersama
“I”ngin kuulangi masa-masa itu
“L”angkah kecil insan dengan senyum simpul di bibirnya
“K”epada Tuhan aku berharap …
“U”ntuk menjabat tanganmu lagi



Dulu ia temanku bermain. Dulu ia temanku tertawa. Tak kenal waktu, tak kenal tempat. Dulu sering berkelana dalam rel kereta, dulu saat pemikiranku masih anak-anak. Bermain seharian di sungai, menangkap ikan-ikan kecil, mengarungi pematang sawah, dan berburu senyuman di gedung-gedung tua.

Bermain petak umpet dulu terasa sangat mengasyikkan. Ingin kuulangi lagi, namun harus kusadari kini waktuku untuk itu sudah tidak lagi ada. Aku sekarang tengah beranjak dewasa, semakin menjauh dari kenangan lama. Tak lagi kuingat namamu, senyummu, dan bayang-bayangmu yang kuinjak dengan sepatuku.

Entah kini kalian ada di mana, bagaimana kabarnya, dan tengah mengingat apa. Aku di sini perlahan-lahan mengenang permainan bodoh kita, dulu sewaktu aku dan kamu masih polos dan lugu. Kini sejumlah racun-racun dunia tengah mengusik kita. Usia, jarak, status, adalah penghalangku untuk melakukan yang dulu tak ingin kita tinggalkan

            Ingatkah kamu saat kita bermain di hamparan luas? Menaikkan layang-layang, berayunan di ranting pepohonan, dan memanjat tembok-tembok di stasiun itu?
            Ingatkah kamu saat kita menangis karena matahari hampir pergi? Orangtua menjemput dan memarahiku yang tak kenal waktu?

Bahkan aku lupa kapan terakhir kali kujabat tanganmu, bahkan aku lupa kalau di antara kita pernah ada perpisahan.

Sihabudin Ahmadaiky

Salah Jatuh Cinta



Salah Jatuh Cinta
Sihabudin Ahmadaiky

“S”alju lembut yang dingin
“A”langkah manis bila dipegang
“L”eleh bersama matahari
“A”kan mengalir menjadi air
“H”anyalah singkat dan sesaat

“J”urang yang dalam yang tak terlihat
“A”dalah tempatku kembali di jiwa yang tersesat
“T”anpa siapa-siapa tanpa apa-apa
“U”ntuk berlari menjauh dari kenyataan
“H”anya untuk bermimpi dan bermimpi lagi

“C”erita yang sulit untuk dipertahankan
“I”barat musim semi yang datang di kala hujan
“N”amun, itu hanyalah kenangan
“T”erimakasih telah memberiku sebuah pelajaran
“A”G XXXX XX

                                                                                                                 
Ia menikmati perjalanan cerita yang bermula dari interaksi manusia. Ia menyapa bersama derap-derap langkah yang berujung pada suatu pertemuan. Ia bertemu, mengucapkan selamat datang. Ia gembira menyambut sebuah pelabuhan yang akan ia tinggali beberapa waktu mendatang.
 
Sesekali ia tersenyum dalam kegelapan, mengelus lembut tangan-tangan mungil dan menatap dalam menuju bola matanya. Dinikmatinya sentuhan-sentuhan alami yang menjadikannya satu-satunya, namun perlahan dan pasti, ia merasakan kejanggalan. Ia menjauh pelan namun raganya mendekat.

Kini ia benar-benar sadar akan apa yang tengah dilihatnya sekarang. Ia benar-benar mengerti siapa yang dipilihnya sekarang, ia salah langkah, ia terjebak dan tak bisa kembali. Namun, beruntung didapatinya sebuah jendela dari dinding-dinding hatinya. Ia keluar dan menyadari bahwa orang yang dicintainya adalah seorang petualang.


Sihabudin Ahmadaiky