Jumat, 27 September 2013

Tangisan Seorang Petani Muda



Tangisan Seorang Petani Muda
Sihabudin Ahmadaiky

“R”umput menangis dalam diamnya
“E”lang menjauh mengudara mencari mangsa
“N”amun hanya gersang yang dilihatnya
“U”dara teriak, bumi pun berontak
“N”an memerah menanti aliran waktu
“G”umpalan bibit terdiam sunyi
“A”ku menyadari
“N”egara ini bukan untukku lagi

“S”ebutir padi yang gagal dipetik
“E”mosikan jiwa bersama air mata
“P”aceklik datang menghampiriku
“I”lalang pun diam dan mati satu per satu


Ia seorang petani, ia duduk termenung menanti kapan hujan akan membasahi tubuhnya. Ia menunggu tanah ini basah, menunggu kapan hal itu tiba dengan menjaga mendung di langit, menjaga harapan-harapan sahabatnya agar tidak lagi dikecewakan matahari.


Ia teringat akan keluarganya, kepada istrinya yang ditinggal di rumah, kepada anaknya yang pergi sekolah, ia teringat mereka hingga meneteskan air mata. Namun, ia harus memahami bahwa air matanya tak cukup untuk membasahi apa yang harusnya tergenangi air. Matanya mewakili langit dan air matanya mewakili hujan. Ia berdoa dalam kehausan rerumputan.


Ia teriak, mencoba melampiaskan suara-suara rumput, berharap agar mendung mendengar, berharap hujan, ia berharap semua itu terjadi secepatnya sebelum satu per satu nyawa tanamannya pergi meninggalkan kegelisahan.
 



Sihabudin Ahmadaiky
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar