Tangisan Seorang Petani Muda
Sihabudin Ahmadaiky
“R”umput
menangis dalam diamnya
“E”lang
menjauh mengudara mencari mangsa
“N”amun
hanya gersang yang dilihatnya
“U”dara
teriak, bumi pun berontak
“N”an
memerah menanti aliran waktu
“G”umpalan
bibit terdiam sunyi
“A”ku
menyadari
“N”egara
ini bukan untukku lagi
“S”ebutir
padi yang gagal dipetik
“E”mosikan
jiwa bersama air mata
“P”aceklik
datang menghampiriku
“I”lalang
pun diam dan mati satu per satu
Ia seorang petani, ia duduk termenung menanti kapan hujan akan
membasahi tubuhnya. Ia menunggu tanah ini basah, menunggu kapan hal itu tiba
dengan menjaga mendung di langit, menjaga harapan-harapan sahabatnya agar tidak
lagi dikecewakan matahari.
Ia teringat akan keluarganya, kepada istrinya yang ditinggal di rumah, kepada anaknya yang pergi sekolah, ia teringat mereka hingga meneteskan air mata. Namun, ia harus memahami bahwa air matanya tak cukup untuk membasahi apa yang harusnya tergenangi air. Matanya mewakili langit dan air matanya mewakili hujan. Ia berdoa dalam kehausan rerumputan.
Ia teriak,
mencoba melampiaskan suara-suara rumput, berharap agar mendung mendengar,
berharap hujan, ia berharap semua itu terjadi secepatnya sebelum satu per satu
nyawa tanamannya pergi meninggalkan kegelisahan.
Sihabudin Ahmadaiky
Tidak ada komentar:
Posting Komentar